Pages

Sunday, January 31, 2016

Sepekan Berkereta (1)



Selain stasiun-stasiun yang jauh lebih tertib dan kereta api yang lebih nyaman ternyata banyak perkembangan perkeretaapian yang tidak saya ketahui. Maklumlah sudah jarang saya bepergian dengan kereta api. Bahwa stasiun kereta api menjadi lebih tertib saya tahu bagaimana mulanya ketika saya pulang ke Yogyakarta dari Jatinegara naik kereta ekonomi Gajah Wong (Gajah Wong adalah nama sungai yang mengalir di sebelah timur UIN [d/h IAIN] Sunan Kalijaga Yogyakarta), waktu itu tiketnya masih sekitar Rp130.000-an. Di stasiun Jatinegara terpampang pemberitahuan bahwa mulai tanggal 1 Oktober 2011 para pengantar tidak boleh masuk ke peron. Setelah itu, karena tinggal di Yogyakarta saya tak pernah lagi naik kereta ke Jakarta hingga pertengahan 2014.
Pagi pertengahan Mei 2014 saya ke Gambir untuk membeli tiket langsung kereta api Taksaka pagi atau Argo Dwipangga atau kereta api apa pun yang menuju Yogyakarta. Tiket habis. Keberangkatan paling cepat dan tersedia tiketnya adalah kereta eksekutif Gajayana tujuan Malang yang berangkat sekitar pukul lima sore. Setelah berusaha menelepon agen Safari Dharma Raya lalu mencari tiket pesawat dan tidak dapat apa-apa saya beli saja tiket kereta yang dianggap sebagai rival kereta api legendaris Bima itu. Itulah perjalanan terakhir saya dengan kereta api Jakarta – Yogyakarta sebelum pertengahan Januari 2016 kemarin ketika saya, yang bekerja secara freelance, harus mencari pekerjaan di ibu kota tempat berputarnya 75 persen uang di republik ini.
Di Alfamart Pasar Wedi, Klaten, saya memesan tiket Kereta Api Gajah Wong tujuan Jakarta Pasar Senen yang berangkat dari Stasiun Lempuyangan, tetapi saya memesan keberangkatan dari Stasiun Yogyakarta Tugu karena kemudahan transportasi menuju stasiun. Harga tiketnya Rp200.000 (dua ratus ribu rupiah) pada tanggal 14 Januari 2016. Entah kenapa sekarang orang lebih lazim menyebut tanda pembayaran ongkos kereta api sebagai tiket bukan karcis seperti waktu saya kecil dahulu. 
Kereta Api di Indonesia
KA Gajah Wong melintas di Wojo

Kekurangan membeli tiket bukan di stasiun adalah penumpang harus menukarkan bukti pembelian dengan tiket di stasiun, paling lambat satu jam sebelum keberangkatan. Ini merepotkan untuk orang generasi karcis seperti saya yang biasa datang ke stasiun mepet karena sudah hafal dengan tabiat kereta yang sering tidak bisa baca jam. Ternyata ada persoalan dengan kesiapan peralatan dalam sistem pembelian jarak jauh itu. Ketika saya hendak mencetak tiket di mesin cetak mandiri di Stasiun Lempuyanagn, pita printer LX 800 kehabisan tinta. Alhasil kertas yang keluar tidak ada cetakan apa-apanya. Setelah bertanya pada petugas yang menjaga pintu masuk peron, saya mendatangi customer service. Antre. Oleh petugas customer services disuruh minta ke loket agar dicetakkan petugas loket. Mbulet ya ... Serba otomatis okelah, tapi kalau sarana dan pengetahuan personel masih era karcis domino gitu ya menyusahkan juga akhirnya.
Senja keesokan harinya saya diantar istri dan anak bungsu saya ke Stasiun Tugu. Dahulu, tahun 1990-an, setiap kali ke Stasiun Tugu pasti ada satu atau dua orang yang saya kenal. Belakangan sudah tidak pernah saya bertemu teman-teman yang hendak bepergian dengan kereta api. Tetapi kalau di Bandara Adisutjipto pasti ada orang yang saya kenal, minimal kenal muka. Hanya yang miskin yang masih naik kereta hahaha. Keyakinan bergurau ini tiba-tiba dikuatkan oleh lewatnya seseorang yang membawa cangkul dibungkus koran di ruang tunggu stasiun. Saya panggil, “Bon!” Bambang Subono adalah aktivis mahasiswa 1980-an yang saya segani karena integritas dan pilihan hidupnya yang, bagi kebanyakan orang, kelewat ekstrem. Dan dia tetap Bono yang saya kenal dahulu. Bono yang berjalan kaki dari Mampang ke Cawang karena memutuskan untuk membeli teh botol saat uangnya hanya cukup untuk memilih antara teh botol dan ongkos bus kota.
Enggan memasuki pusaran kekuasaan politik seperti yang banyak dilakukan teman-teman kami, Bono memilih berjualan obat-obatan herbal. Orang boleh bilang Bono naif, sinting, tak realistis atau apalah. Sedikit banyak saya mengikuti jejaknya untuk menjauhi pesta kuasa yang mirip buka puasa setelah menahan lapar dahaga berkepanjangan itu. Setelah menanyakan nomor hp saya, Bono menuju rangkaian kereta api Senja Utama Solo yang berangkat lebih dahulu, pukul 17:45. Kereta Gajah Wong yang akan saya tumpangi sedianya berangkat pukul 18:05, kali ini diumumkan terlambat karena satu dan lain hal yang saya tidak perhatikan persisnya.
Pukul tujuh malam lewat banyak barulah kereta api ekonomi Gajah Wong merayap perlahan meninggalkan peron 5 Stasiun Tugu. Secara umum perjalanan berjalan lancar tanpa banyak menunggu kereta kelas lebih mahal melaju dari arah berlawanan. Tampaknya pengaturan pemberangkatan kereta api cukup rapi. Berhenti di banyak stasiun pun hanya dalam waktu yang cukup untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Tentu saja ada tidak enaknya. Masa 200 ribu minta sama dengan 400-an ribu (kereta eksekutif) hahaha. Kursi penumpang. Kursi bersandaran tegak dan tanpa sekat antara penumpang itu sungguh tidak mengenakkan untuk perjalanan jauh yang pasti melibatkan tidur.
Sejak Stasiun Sumpiuh saya sudah berusaha tidur. Baru berhasil selepas Stasiun Cirebon. Kereta tiba di Stasiun Senen sekitar pukul setengah empat, molor dari jadwal seharusnya pukul 02:05. Tak apalah, toh Kereta Rel Listrik (KRL), disebut juga Commuter Line, baru beroperasi pukul lima pagi. Saya membeli tiket berbentuk kartu seharga Rp12.000 untuk trayek Senen – Palmerah. Kereta pertama jurusan Bogor tiba di Stasiun Senen, saya naik hingga Stasiun Tanah Abang. Karena kereta pertama, saya mendapat tempat duduk. Perkembangan KRL ini boleh juga, setiap hendak berhenti di suatu stasiun ada pengumumannya. Ini cukup penting bagi orang yang bukan penduduk ibu kota. Bahkan ketika saya tinggal di Jakarta dulu pernah hampir terlewat stasiun Tanjung Barat dan ketika tergesa-gesa turun nyaris anak sulung saya tertinggal ketika pintu mulai menutup sedangkan dia terhalang para penumpang yang berdiri di depan pintu dan mereka yang berebut masuk. Untung ada orang yang menolong dan mengangkatnya keluar sementara tangan mungilnya memegang tangan saya erat-erat. Mengerikan kalau ingat itu. Lamunan saya buyar mendengar pengumuman bahwa kereta akan memasuki Stasiun Tanah Abang sebentar lagi.
Agak lama menunggu, datanglah kereta tujuan tujuan Maja. Kendati penuh saya tetap mendapat tempat duduk, tak lama kemudian kereta tiba di Stasiun Palmerah tujuan akhir saya hari itu.

Sumber gambar:

2 comments: