Pages

Thursday, March 3, 2016

Josemariá Escrivá de Balaguer dan Yahudi



Josemariá Escrivá de Balaguer dan Yahudi

Josemariá Escrivá de Balaguer, rohaniwan muda Spanyol yang menyepi di Biara Vincentian di Madrid, mendapat sebuah visi, yang memaparkan kepadanya kehendak Tuhan yang “utuh dan lengkap”. Saat itu 2 Oktober 1928, tanggal yang kemudian ditetapkan oleh para anggota Opus Dei sebagai tanggal lahir kelompok yang kelak didera berbagai kontroversi itu. Josemariá Escrivá dan para pengikutnya begitu meyakini bahwa organisasi mereka mengakar dalam kehendak Tuhan hingga Escrivá menyatakan, “Aku bukan pendiri Opus Dei. Opus Dei didirikan bukan olehku.” Pada mulanya Escrivá bahkan tidak memberi nama bagi realitas baru itu; “Opus Dei”, yang adalah bahasa Latin untuk “karya Tuhan”, berasal dari komentar spontan salah seorang jemaat Escrivá, yang bertanya kepadanya, “Bagaimanakah Karya Tuhan itu bekerja?” Itulah sebabnya para anggota biasa menyebut Opus Dei sebagai “Karya”.
Gagasan inti Opus Dei adalah pengkudusan kehidupan sehari-hari umat yang mengamalkan Alkitab dan ajaran Gereja seutuhnya. Oleh karena itulah simbol utama Opus Dei adalah salib bersahaja dalam lingkaran—simbolisme yang melambangkan pengkudusan dunia dari dalam: “menjadi seorang suci” bukanlah wilayah eksklusif segelintir atlet spiritual, melainkan takdir universal setiap orang Kristen. Kesucian bukan melulu, terutama juga bukan, untuk para pastor dan biarawati. Lebih jauh, kesucian bukanlah sesuatu yang terutama dicapai melalui ibadat dan disiplin spiritual, melainkan lebih melalui detail-detail duniawi kerja sehari-hari. Dengan demikian kesucian tidak mensyaratkan suatu perubahan dalam keadaan eksternal, melainkan sebuah perubahan dalam sikap, memandang dengan cara baru berkenaan dengan takdir spiritual seseorang.
Para pengagum Escrivá, termasuk Paus Yohanes Paulus II, yakin bahwa santo Spanyol itu sudah memperhitungkan “seruan universal pada kesucian” yang kelak diumumkan oleh Konsili Vatikan Kedua. Mendiang kardinal Florence dan tangan kanan Paus Paulus VI, Giovanni Benelli—yang bertikai dengan Escrivá selama bertahun-tahun—bahkan pernah mengatakan bahwa makna Santo Ignatius de Loyola, pendiri Jesuit, bagi Konsili Trent abad keenam belas, persis seperti makna Escrivá bagi Konsili Vatikan Kedua. Dengan kata lain, dia adalah santo yang menerjemahkan konsili itu ke dalam kehidupan Gereja.
Bagi internal umat Katolik kisah tentang Josemariá Escrivá de Balaguer (yang dikanonisasi pada 6 Maret 2002) di atas tentulah tidak asing. Di luar kalangan Gereja, Opus Dei jauh lebih terkenal daripada sang pendiri sampai-sampai organisasi ini menjadi ikon bagi sebuah perhimpunan rahasia dan tertutup dengan cita rasa elitis yang agak mirip Skull and Bond atau Freemason. Soal elitis itu tidak mungkin dijelaskan dalam tulisan ini, tetapi bahwa “pangsa pasar” Opus Dei dalam agama Katolik global hanyalah kecil memang begitulah kenyataannya. Menurut Annuaria Pontificio 2004, buku tahunan resmi Vatikan, 1.850 pastor Opus Dei di seluruh dunia bersama 83.641 umat menjadikan kelompok ini berkekuatan 85.491 orang, 0,008 persen dari populasi Katolik global yang berjumlah 1,1 miliar orang (55 persen anggota Opus Dei, asal tahu saja, adalah perempuan). Sekadar perbandingan, keuskupan agung Hobart di pulau Tasmania, Australia, beranggotakan 87.691 orang, artinya jumlah ini saja sudah lebih besar ketimbang keanggotaan Opus Dei seluruh dunia.
Jauh sebelum ribut-ribut tentang desas-desus konspirasional bahwa Opus Dei adalah penguasa dunia sesungguhnya dan popularitas global miring tentang Opus Dei melalui The Da Vinci Code, tak lama setelah lahir organisasi ini sudah mendapat tudingan anti-Semitisme. Tudingan yang dikaitkan dengan kenyataan bahwa hampir semua anggota generasi awal Opus Dei bergabung dengan Divisi Biru Spanyol yang berperang bahu-membahu dengan tentara Jerman di front timur melawan tentara Soviet. Sejarawan Spanyol Alfredo Méndiz, yang juga anggota Opus Dei, menepis tudingan itu dengan mengatakan, “Banyak pemuda Katolik idealis Spanyol, bukan cuma anggota Opus Dei, yang menjadi pasukan sukarela untuk memerangi kaum Bolshevik. Beberapa anggota Opus Dei, tidak semua, ikut bergabung, tetapi tak satu pun yang benar-benar berangkat ke medan perang. Biar bagaimanapun, yang mendorong orang Spanyol bergabung dengan Divisi Biru bukan anti-Semitisme atau kecintaan kepada Hitler, melainkan hasrat untuk melawan Stalin, yang dipandang sebagai musuh agama.”
Tudingan anti-Semitisme itu semakin gencar setelah Josemaría Escrivá mengatakan bahwa Hitler diperlakukan buruk oleh opini dunia sebab dia tidak mungkin bisa membunuh enam juta Yahudi. Menurut Escrivá paling banter Hitler cuma membunuh empat juta Yahudi. Pernyataan ini menyebabkan Josemaría Escrivá dimasukkan dalam daftar para santo anti-Semit oleh Jerusalem Post.
Apa boleh buat, pertikaian yang sering dirunut hinga Injil Matius 26: 59, “Imam-imam kepala, malah seluruh Mahkamah Agama mencari kesaksian palsu terhadap Yesus, supaya Ia dapat dihukum mati” ini menyebabkan Gereja menjadi langganan favorit tuduhan anti-Semit. Selain Josemaría Escrivá de Balaguer, Jerusalem Post edisi 20 Oktober 2003 bahkan memasukkan Paus Pius IX, pastor Polandia Maximilian Kolbe dan Alojzije Stepinac, uskup agung Zagreb pada tahun 1940-an yang mendukung rezim pro-Nazi di Kroasia dalam kategori orang-orang suci anti-Semit bersama Santa Anne Catherine Emmerich.
Sudah umum diketahui bahwa Gereja dikatakan menumbuhkan anti-Semitisme tradisional terkait pengkhianatan Yahudi terhadap Yesus, tetapi yang jarang disebutkan adalah orang Yahudi tidak selamanya sengsara karena sentimen ini. Kalaupun orang Yahudi menderita di bawah kekuasaan Gereja, mereka juga tidak sendirian dalam hal ini. Misalnya, Konsili Lateran keempat pada 1215 mewajibkan orang Yahudi mengenakan pakaian khusus agar mudah dibedakan dari orang Kristen, ketentuan ini juga berlaku bagi orang Islam. Tetapi jangan dilupakan Konsili Tours, tahun 1236, konsili ini berisi ketentuan yang toleran terhadap Yahudi. Sebelum itu, ketika di Worms para petani yang mengamuk menewaskan delapan ratus Yahudi, menghancurkan sinagoga di Cologne, uskup agung setempat melindungi orang-orang Yahudi di kastilnya.
Tahun demi tahun berlalu, tentu ada gejolak di sana sini. Normal. Perang Reformasi berkobar, orang-orang Yahudi dibebani pajak untuk membiayai pasukan. Mereka juga menjual pakaian, menjadi pedagang keliling, dan lintah darat. Tidak ada yang istimewa, sama tidak istimewanya dengan para petani Ortodoks yang ditindas para penguasa Katolik Roma. Dalam konteks masa itu, ketika sentimen antaragama jauh lebih sengit ketimbang sekarang, pandangan Rabbenu Gershom, di negeri Kristen, mustahil disukai pejabat gereja yang mana pun. Sikap Gershom: karena mereka menyembah patung, menuhankan manusia, dan beriman pada Trinitas, mereka harus dipandang sebagai penyembah berhala. Tetapi karena orang Yahudi minoritas dan tidak bisa hidup tanpa bergantung pada orang Kristen, tanpa masuk ke rumah mereka, tanpa berskiap ramah kepada mereka, tanpa berjual beli dengan mereka, banyak hukum Talmud yang melarang berhubungan dengan orang pagan harus ditafsir ulang.
Mengenai pandangan Santo Josemaría Escrivá de Balaguer tentang Yahudi, dialog berikut menarik untuk direnungkan:
Penanya: “Bapa, saya orang Yahudi ...”
Escrivá: “Saya sangat mencintai umat Yahudi sebab saya mencintai Yesus Kristus habis-habisan, dan dia Yahudi. Saya tidak mengatakan bahwa dia sebelumnya Yahudi, tetapi sekarang pun dia Yahudi. Iesus Christus eri et hodie et in seacula. Yesus Kristus terus hidup dan dia Yahudi seperti Anda. Dan cinta kedua dalam hidup saya juga untuk orang Yahudi—Perawan Suci Maria, Ibunda Yesus Kristus. Maka saya memandang Anda dengan kasih sayang ....
Penanya: Saya rasa Anda sudah menjawab pertanyaan saya, Bapa.”

Rujukan:
Chaim Potok, Wanderings: Chaim Potok’s History of The Jews, Fawcet Crest, New York, 1980.
John Allen, Opus Dei, Penguin, 2006.
Kanonisasi Josemaria


No comments:

Post a Comment