Pages

Friday, January 29, 2016

Tajam Ke Bawah Tumpul Ke Atas



Fiat Justitia et Pereat Mundus

Dr. Y. Paonganan ditangkap subuh-subuh oleh aparat kepolisian karena mengunggah gambar Nikita Mirzani dan seseorang disertai sebuah hashtag yang dianggap menghina di mata para pemuja rezim ini. Berita soal ini mudah didapat di era serba google dan karena itu tidak perlu dibahas lebih lanjut. Kasus tersebut disebutkan di sini sekadar sebagai contoh betapa hukum di negeri kita sudah begitu ruwet dan malah memancing pertikaian yang bertele-tele seiring era kebebasan bersuara yang semakin difasilitasi oleh media sosial.
Banyak yang berpandangan, terutama para pengritik rezim, penangkapan itu semacam shock therapy bagi siapa saja yang mengritik rezim dan kebijakannya. Dan ini strategi lumrah, coba bayangkan bagaimana satu regu pasukan bisa menjaga ratusan tahanan. Terapi kejutan itu kuncinya. Tembak satu, asal tembak saja, ratusan lainnya pasti ketakutan. Sesuai prosedur hukum yang berlaku atau tidak nanti mudah diurus. Tidak semua orang paham hukum dan terbiasa berurusan dengan rumitnya sistem hukum. Itu saja sudah cukup untuk menjamin pelanggaran hukum oleh penguasa melenggang kangkung. Bahwa suatu negara adalah negara berdasarkan hukum (rechtstaats) begitulah bunyi undang-undang. Lain bunyi undang-undang dan praktek bukan keajaiban langka di Bumi ini.
Di lain pihak, para pemuja rezim terus-menerus menghujat Ongen (sapaan Y. Paonganan) kendati yang bersangkutan sudah ditahan dengan sangkaan yang masih menimbulkan kebingungan banyak orang. Memang ajaib sekarang ini, dahulu di masa Orde Baru jika ada orang yang ditangkap karena mengritik rezim tak ada yang bersorak apalagi menertawai. Segala upaya mempertanyakan prinsip-prinsip legalitas penangkapan dan penahanan Ongen memancing reaksi makin lantang, dan asal-asalan, para pemuja rezim.
Orang-orang yang berdiri di tengah, atau berpretensi demikian, dan dengan demikian, mestinya, lebih bijak dari kubu pendukung dan penentang penahanan Ongen, mengatakan bahwa absurd saja jika di satu pihak menghendaki pembebasan Ongen tetapi di sisi lain meminta akun-akun penghujat agama, tentunya Islam dalam hal ini, ditangkap. Maksudnya, kebebasan pendapat mutlak tidak boleh diapa-apakan oleh aparat menurut kelompok ini. Pendapat kelompok tengah ini lebih membingungkan, karena kasusnya berbeda. Penangkapan Ongen terkait sangkaan yang tidak jelas unsur pidananya, sedangkan penistaan agama jelas ada aturannya. Lagi pula, permintaan untuk menangkap akun-akun penista itu rasanya lebih merupakan kekecewaan terhadap hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas: jika menghina, atau dianggap begitu, penguasa maka hukum berjalan, jika menghina masyarakat luas, karena Islam adalah agama mayoritas tentulah pengikutnya layak disebut masyarakat luas, dibiarkan saja, kendati efek ke depannya bisa sangat mengerikan kalau massa marah tak terkendali.
Bagaimanapun, kasus Ongen mestinya membuka mata banyak orang betapa hukum sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab dan kajian hukum berbeda dari hukum sebagaimana ia berjalan dalam kenyataannya.
Hukum sebagaimana dikatakan peraturan perundang-undangan tergambar dalam adagium-adagium yang diajarkan kepada mahasiswa Fakultas Hukum dalam semester satu seperti Fiat Justitia Et Pereat Mundus (Tegakkan Hukum Walau Dunia Runtuh), sedangkan hukum bagaimana ia berjalan sehari-hari, barangkali, tergambar dalam ungkapan-ungkapan yang beredar luas dalam masyarakat seperti Kasih Uang Habis Perkara (KUHP) atau “Daun kering pun diperas keluar airnya”. Suram memang.
Kata Daniel S. Lev untuk memahami mengapa dan bagaimana negara hukum yang diabadikan dalam konstitusi bisa runtuh, mula-mula harus dipahami bahwa norma-norma hukum berdiri pada sebuah basis politik. Tidak ada lembaga dan tanggung jawab negara yang lebih jelas menunjukkan (dan lebih sering diluputkan atau disalahpahami) poin ini daripada sistem peradilan—khususnya pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan profesi hukum partikelir. Dengan perkecualian kepolisian, walaupun dilakukan dalam cara masing-masing, semuanya lebih bertumpu pada otoritas ketimbang kekuasaan. Ketika lembaga-lembaga peradilan bekerja dengan baik, mereka mungkin menikmati semacam aura enigmatik. Ketika lembaga-lembaga tersebut gagal, seperti yang terjadi di Indonesia, otoritas lenyap (memberi peluang bagi diberlakukannya kekuasaan telanjang), dan itu menimbulkan kemuakan, kemarahan, cemooh, dan hal-hal lebih buruk.

sumber gambar:


No comments:

Post a Comment